- February 10, 2020
- Posted by: Eka Rusmiyanti
- Category: Blog
Eka Rusmiyanti (Ketua Koordinator Pusat Komunitas Koperasi Syariah 212)
Kegiatan kebangkitan umat marak dan bergejolak di akhir th 2016 dan klimaks di th 2018. Semakin hari semangat jihad ekonomi semakin terasa berat.
Entah mengapa, apakah karena masalah stok barang, management yg kurang bagus, minat belanja yg kurang ataukah karena faktor lain.
Namun hal ini sempat juga bisa dirasakan manfaatnya bagi sebagian umat muslim. Dengan adanya gerakan ekonomi umat, yg harapannya adanya keberpihakan terhadap toko muslim membuat gejolak pertumbuhan UMKM Muslim, bisnis muslim sedikit banyak berpengaruh.
Muncullah para pelaku2 ekonomi yg meski amatiran namun tumbuh bak jamur di musim hujan.
Hal ini sangat bagus dan patut di suport sehingga menjadi sebuah gerakan yg lebih besar lagi.
Namun sayang, ada sedikit kelemahan yang mungkin berbeda dgn gerakan “Buy Muslim First” di Malaysia.
Di Indonesia konsumen Muslim masih sangat selektif memilih barang murah, dan sesuai kebutuhan.
Konsentrasi untuk berpihak kepada toko Muslim rasanya perlu di pupuk kembali.
Masalah harga yang selisih Rp 500-Rp1.000 masih menjadi penghalang untuk berkomitmen berbelanja di gerai Muslim.
Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi di Malaysia yang diskon 50 persen pun tidak membuat pribumi beranjak ke toko non Muslim.
Pertanyaannya, apakah kita umat Muslim sudah siap untuk bangkit secara ekonomi ?
Apakah kita konsisten dengan gerakan yang kita gaungkan sendiri ?
Entahlah, sikap mental yang masih rapuh karena tawaran dari toko sebelah yang menggiurkan kadang membuat lupa akan teriakan takbir yang diucapkan di setiap acara grand opening.
Semangat bergotong royong di awal yang begitu menggebu-gebu luluh lantah dengan adanya permasalahan yang muncul dari berbagai sisi.
Namun, saya masih optimis bahwa gerakan ini akan terus bertahan walaupun terseok-seok.
Masih banyak pihak-pihak yang konsisten dan terus berupaya menegakkan ucapan takbir yang terus dikumandangkan.
Kelemahan-kemudahan yang ada sebetulnya ada sebuah manifestasi awal yang dijadikan ilmu berharga bagi sebuah pergerakan yang memang dimulai dari angka zero.
Sementara kita berhadapan dengan pihak-pihak yang memang kaum kapitalis yang sulit tergoyahkan.
Tapi, bagaimana langkah selanjutnya? Akankah kita menyerah dengan kondisi yang ada ?
Rasanya, amatlah rapuh jika baru dua tahun kita sudah menyerah.
Masih ada celah keberhasilan walaupun kecil.
Tidak ada kata menyerah..
Dan mari kita renungkan lagi apa tujuan awal kita melakukan reformasi ekonomi.
Tentu saja, dengan satu tujuan. Bukan malah beralih dan bergeser dengan tujuan lainnya. Termasuk untuk memperkaya diri sendiri. Habislah sudah..
Sangat bijaksana jika kita mengedepankan tujuan terbesar daripada konsen pada tujuan diri sendiri.
Ingat akan semboyan: Amanah, Berjamaah, dan Izzah.
Gak main-main lho kalimat itu.
Yuk, ISTIQOMAH..
Niatnya dikuatkan lagi,
Lurus-lurus saja..
Jangan belok kemana-mana..
Okay..??!!