- August 28, 2017
- Posted by: Koperasi Syariah 212
- Category: Blog
Oleh: Abdussalam (General Manager (GM) Koperasi Syariah 212)
Di sebuah grup yang saya ikuti, ada yang bertanya begini, setelah si penanya sebelumnya memosting berita tentang segala lini produk dalam negeri kita ternyata sudah banyak yang dikuasai oleh Asing atau Aseng. Terakhir, dia bertanya, “Kenapa hal ini bisa terjadi di Negeri kita?? Padahal kita mayoritas Muslim?”
Spontan saya mencoba menjawab.
“Ini bisa saja terjadi kawan, bahkan sangat mungkin terjadi, ketika umat Islam sebagai mayoritas di Negeri ini tidak lagi mengindahkan nilai-nilai imtaq dan budaya berjamaah yang menjadi ciri khas (karakter) bangsa ini sejak dahulu. Kita dulu itu bisa mengalahkan penjajah Belanda, Jepang, tentara sekutu, bukan karena senjata kita hebat, punya pesawat jet tempur siluman, nuklir, dan lain-lain. Tapi karena kita Berjamaah, bersatu”
“Dulu, saya masih ingat, sewaktu saya masih kecil, dan anak-anak seumuran saya, rerata mayoritas orang tuanya, selepas maghrib, kami semua dididik oleh orang tua kami masing-masing untuk senantiasa istiqamah nderes Alquran, belajar tajwid, mengaji ilmu agama secara silih berganti, dengan sistem kuno, yaitu sorogan, kadang tentang fikih (masalah ibadah dan muamalah sehari-hari), tauhid (keesaan tuhan), akidah (keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah), nahwu sharraf, dan sebagainya.
Mengaji hingga masuk waktu shalat Isya, kita shalat Isya Berjamaah. Di situ kita ditanamkan oleh orang tua kita, akan nilai-nilai religius yang menjadi karakter diri kita, seperti makna sebuah kejujuran, kebersamaan, ketekunan, sopan santun, amanah, kedisiplinan, etika menghadap kepada Tuhan, dan hubungan sesama, dan sebagainya.
Tapi sekarang, kita menyaksikan, anak-anak kita sehabis maghrib, sudah menongkrong di depan TV sambil menonton sinetron, orangtuanya sibuk bermain HP, atau masih sibuk mengurusi dunia, shalatnya sendiri-sendiri, kadang bolong-bolong. Hingga akhirnya, generasi yang muncul saat ini adalah generasi sinetron; pandai bersandiwara, pandai berbual, dan mudah digoyah karakternya dengan fulus dan dunia, mudah terpedaya dengan tampilan indah di luar namun busuk di dalam.”
“Saya jadi teringat, Kisah Sejarah Islam di waktu Zaman Khalifah Ali Bin Abi Thalib, saat beliau ditanya rakyatnya, “Wahai Imam, kenapa keadaan kaum Muslimin kacau balau, penuh pemberontakan, dan tidak bersatu? Padahal dulu di Zaman Rasulullah Saw aman, sejahtera, semuanya rukun dan bersatu? ” Jawaban beliau sangat sederhana dan ini menjadi cambuk buat kita semua. Beliau menjawab, “Dulu waktu Rasulullah Saw masih hidup dan memimpin kami, rakyat yang dipimpinnya adalah seperti kami. Dan sekarang giliran kami yang memimpin, rakyat yang dipimpinnya seperti kamu! “.
Kualitas generasi dari masa ke masa, terus mengalami kemerosotan. Baik soal akidah, tauhid, fikih, muamalah (ekonomi), siyasah (politik), dan ghiroh bela Islamnya lemah. Generasinya tidak bisa membaca Alquran, apalagi memahami ajarannya dengan baik. Karena mereka lebih suka yang serba instan. Makannya mie instan, belajarnya juga instan, cukup pada Kyai Google, hingga ingin kaya secara instan. Wajar kalo pada akhirnya kekayaannya juga hilang secara instan.
Zaman sekarang, ghiroh kita bersatu (berjamaah) hanya pada sebatas saat shalat. Habis itu, kembali lagi jalan sendiri-sendiri. Bermuamalah sendiri-sendiri, buka toko retail sendiri-sendiri, bisnis properti sendiri-sendiri, semua dilakukan secara individu. Takut berjamaah, karena takut bagiannya berkurang atau sedikit karena dibagi kepada orang banyak.
Para sahabat di zaman dulu, ghiroh berjamaah diaplikasikan bukan hanya pada saat shalat, melainkan di semua aspek, mulai ibadah, muamalah, dan siyasah. Sehingga umat Islam terdahulu bisa mengalahkan Kerajaan Bizantium Romawi dan Persia yang sangat besar karena jemaahnya kuat.
Filosofi berjamaah itu, Imamnya satu, lainnya makmum. Satu komando dari imam, lainnya ikut. Bukan berjamaah, jika Imamnya banyak, atau makmumnya bergerak sendiri-sendiri. Jadi, makna jemaah itu, harus ada yang diangkat menjadi pemimpin, dan lainnya menjadi makmum yang taat pada Imamnya. Jangan jadi pihak ketiga kata Nabi, maka kau akan celaka. Yaitu menjadi Imam yang tidak ditaati makmumnya atau menjadi makmum yang tidak taat kepada imamnya.
Masjid di zaman Nabi tidak hanya dijadikan sebagai pusat kegiatan ibadah un sich, melainkan juga difungsikan untuk bermusyawarah tentang ekonomi ummat, keadaan politik ummat, sosial ummat, dan sebagainya. Ini harus digalakkan kembali. Agar ummat menemukan pencerahan dalam setiap problem kesehariannya. Sehingga masjid memiliki daya pikat seperti magnet yang mampu menarik masyarakatnya untuk berjamaah.
Layaknya pasar, karena memiliki magnet yang kuat, yaitu mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pasar selalu ramai, tanpa harus diumumkan datang, tanpa harus diundang, dan tanpa ada panitia Atau EO yang membuat iklan. Masjid jika sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, pasti akan banyak dikunjungi para jamaahnya.
Nah, Sekarang….
Bagaimana kita mau mengalahkan mereka, kalau kita banyak hidup dari hasil mereka. Kita masih menabung membesarkan Bank milik mereka, kita terus mensubsidi dana mereka, kita terus sibuk menjadi pembeli setia produk mereka. Dana-dana kita dengan bangga diletakkan di Bank mereka, dan sebagainya. Jujur saja, silahkan cek ATM yang menghiasi dompet Anda. Lebih dominan Bank milik kita sendiri atau milik asing/aseng? Di sinilah persoalannya!
Ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Mari Kita mulai dari dalam rumah sendiri. Jangan terlalu ambisi ingin memperbaiki seluruh ummat, perbaiki diri sendiri dulu, keluarga di rumah, perkuat barisan kecil kita di dalam rumah, shalatnya, ngajinya, infaknya, kemudian perbaiki hubungan dengan tetangga sekitar, dan baru merambah ke bagian yang lebih luas. Kadang, banyak orang hebat, bisa memimpin rapat dengan ribuan karyawannya, namun belum tentu hebat ketika memimpin rapat di rumahnya atau di RT/RW nya.
Kadang ada juga yang hebat dengan teori ekonominya di kampus dan di seminar, tapi belum pernah satu pun menerapkan ilmu ekonominya pada kondisi bisnis riil di lapangan. Karena belum tentu mereka yang jago teori risk management, jago teori wirausaha, dia akan berhasil memimpin usaha di lapangan. Karena teori kadang indah di buku teks, dan bertolak dengan realita di lapangan. Semoga kita terus diberikan hidayah dan inayah oleh Allah Swr agar terus Istiqomah di jalan-Nya dan terus menjadi manusia yang anfa’uhum linnas, selalu Berjamaah dan bangun generasi anak-anak kita cinta Alquran dan Nabinya.
Allahu Akbar!!!
#RenunganPribadi
Buat Diri Saya sendiri.
Selamat Pagi semua!!
???????
Semangaaaaatttttt.. ??