Mengenal Pembiayaan Ijarah

Sewa menyewa dalam ekonomi syariah diatur dalam skema ijarah.

Adanya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah. Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Dalam Fatwa DSN MUI Nomor09/DSN-MUI/VI/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, yang menjadi objek dari akad ijarah adalah manfaat barang dan sewa dan manfaat jasa dan upah. Manfaat barang atau jasa ini harus bisa dinilai, dapat dilaksanakan dalam kontrak, dan harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan). Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.

Selain itu, manfaat juga harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan ketidaktahuan yang akan mengakibatkan sengketa. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

Di pembiayaan Ijarah juga terdapat sewa atau upah, yaitu sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah. Pembayaran sewa atau upah ini boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Lembaga keuangan syariah sebagai pemberi manfaat barang atau jasa memiliki tiga kewajiban. Yaitu, wajib untuk menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan, menanggung biaya pemeliharaan barang, dan menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

Sementara, kewajiban nasabah adalah membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).

Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, maka ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Terkait